BOLTARA: Identitas Baru Untuk Mengangkat Potensi Lama

Perilaku orang terhadap rebranding Bolmut menjadi Boltara sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dan emosi yang sudah terbentuk. Untuk menjelaskan ini, kita bisa gunakan pendekatan teori perilaku.
Dalam teori perilaku disebutkan bahwa kebiasaan yang sudah lama dilakukan bukan sekadar rutinitas, tapi sudah menjadi bagian dari identitas.
Kalo dalam bahasa Labuang kira-kira depe teori bilang bagini:
“The more you repeat a behavior, the more you reinforce the identity associated with that behavior.”
Masyarakat yang sudah terbiasa menyebut “Bolmut” selama bertahun-tahun, secara tidak sadar membentuk identitas. Bahwa saya bagian dari Bolmut. Ketika tiba-tiba muncul istilah “Boltara”, ada semacam “konflik identitas.” Mereka merasa asing, bahkan mungkin tersinggung karena seolah-olah identitas itu diubah begitu saja.
Konsep rebranding itu mirip seperti mengubah kebiasaan lama. Dan menurut teori perilaku, mengubah kebiasaan bukan tentang sekadar menghapus yang lama, tapi membangun sistem dan makna baru.
Misalnya: torang selama ini menulis tangan dengan tangan kiri, lalu diminta menulis dengan tangan kanan. Bisa? Bisa, tapi aneh dan sulit di awal. Bukan karena salah, tapi karena belum terbiasa.
Begitu juga dengan istilah “BOLTARA.” Bukan soal benar atau salah, tapi soal transisi. Masyarakat perlu waktu dan alasan kuat untuk beralih dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru.
Jadi kalo rebranding ini ingin berhasil, maka pendekatannya bukan hanya “torang ubah nama”, tapi harus diikuti dengan niat:
“Torang ingin membangun identitas baru: masyarakat yang lebih terbuka, lebih dikenal, dan lebih siap menyambut masa depan.”
Dengan menanamkan niat untuk membangun identitas baru ini didalam diri membuat orang merasa terlibat secara emosional dan rasional. BOLTARA bukan cuma nama baru, tapi bagian dari siapa torang sekarang dan ke mana torang akan melangkah.